Arti Sebuah Obrolan (Lintasan Pikiran)

Dalam sebuah bukunya, “Membangun Ruh Baru, Taujih Pergerakan untuk Para Kader Dakwah” (Penerbit Harakatuna, 2005), Ust. Musyaffa Abdurrahim mengingatkan kita akan Arti Sebuah Obrolan. Dengan penuh hikmah beliau mampu memberikan analisis dan taujih akan suatu hal yang sangat penting tetapi seringkali terabaikan oleh kita.

Silakan baca dan simak dengan baik paragraf per paragraf isi taujih tersebut di bawah ini.

Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya obrolan masyarakatnya.

Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid.

(#1) Dalam obrolan mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut:

“Berapa rumah yang sudah engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada di rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis? Dan semacamnya.”

Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya, lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya.

(#2) Dalam obrolan mereka, terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

“Hari ini engkau sudah membaca Al Qur’an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa pada bulan ini? Dan semacamnya.”

Mungkin diantara kita ada yang mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah?

Dari aspek hukum syar’i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias tidak ada larangan dalam syari’at.

Akan tetapi, bila hal itu kita tinjau dari sisi lain, dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal itu menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa juga kita katakan, telah terjadi perubahan obsesi tertentu pada ummat.(#3)

Pada masa Sahabat (Ridhwanullah ‘alaihim), obsesi orang -dengan segala tuntutannya, baik yang berupa feeling ataupun ‘azam, bahkan ‘amal -selalu terfokus pada bagaimana menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi itu telah berubah.

Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya semangat jihad, semangat da’wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Alhamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali “gaya” dan “pola” obrolan masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup masyarakat.(#4)

Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin).

Tujuan dia memasuki wilayah Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin mengobrol, ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat itu.

Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan informasi tentang gaya kaum muslimin, tertumbuklah pandangannya kepada seorang bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan seekor burung.(#5)

Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fi sabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka masih terobsesi untuk berjihad fi sabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah itu tadi.

Antara obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi.

Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak terlupakan, ia datangi pula masjid.

Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan: Budak perempuan saya yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya bagus, desainnya canggih, luas dan sangat menyenangkan, dan semacamnya.

Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu, sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah… Betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita sekarang ini?

Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita?

Sadarkah kita bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah kita persiapkan sedemikian rupa?

Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang baru saja turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhudan salafush-Shalih dan pengaruhnya dalam efektifitas da’wah”.

Sehabis shalat Jum’at, anda mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda dan mereka memperbincangkan. Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya.

Cobalah anda menerka, pengaruh apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang anda sampaikan lewat obrolan?

Sekali lagi, memang obrolan semacam itu bukanlah masuk kategori “terlarang” secara syar’i, akan tetapi, (#6) saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da’wah ilallah.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah… Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya obrolan kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang terjadi saat kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi antar sesama aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita.

Saat itu, obrolan kita tidak pernah keluar dari da’wah, da’wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang?

Silahkan masing-masing kita menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita da’wah dan tarbiyah saat itu dengan seringnya kita mendengar adanya dha’fun (permasalahan/kelemahan) tarbawi maupun ummat di sana sini.

(renungan #)

  1. Kira-kira apa yang menjadi materi obrolan kita saat ini? Samakah dengan yang disebutkan pada bagian ini? Atau memang tidak sama, tetapi justru lebih.. na’udzubillah..
  2. Kapankah kira-kira kita ingin menjadi ummat yang senantiasa tercatat -dengan tinta emas- dalam sejarah peradaban, seperti mereka yang obrolannya seperti itu? Mereka adalah ummat dimana masa keemasan islam hadir, dan seperti itulah obrolan mereka..
  3. Obsesi apa yang kita miliki saat ini? Obsesi yang ummat kita miliki saat ini? Peradaban apakah yang sedang berlaku di dalam ‘tubuh’ kita saat ini?
  4. Apakah memang kejayaan islam yang sering kita dengungkan telah menjadi cita-cita dan obsesi kita?
  5. Apakah yang membuat kita bersedih dan menangis saat ini? Apakah kita bersedih karena jauh dari Allah swt? Apakah kita bersedih ketika bangun subuh terlambat? Atau ketika kita menyakiti hati saudara kita? Atau ketika melihat realitas ummat yang papa dan terjajah?
  6. Akan tetapi… Apakah pantas?

Saudaraku sekalian yang dirahmati Allah swt. Sebuah renungan singkat ini tidak akan berarti banyak tatkala kita tidak bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya.

” Allah memberi hikmah kepada yang dikehendakinya,  barangsiapa diberikanNya hikmah, maka sesungguhNya Ia telah memberikan kebaikan yang sangat banyak.”

Inginkah kita mengambil pelajaran di dalamnya? Jadi, apa obrolan kita hari ini?

6 responses to “Arti Sebuah Obrolan (Lintasan Pikiran)

  1. memang..yang keluar dari mulut seseorang adalah cerminan ilmu dan hatinya…
    gambaran indonesia kedepannya bisa jadi ditentukan di asrama ini (ust musholli), ane pikir akan sangat positif bila ada gerakan pembudayaan obrolan ala salafushshalih…
    tentunya kita tidak ingin khan, Indonesia ini sama aja dengan atau tanpa ppsdms ???
    let’s start it…from simple things, by ourselves, from now..
    bisa jadi ketika obrolan kita masih berkutat dengan dunia, kita sendiri belum tervisikan dengan peradaban Indonesia masa depan akan seperti apa…
    wallahualam

  2. Pingback: Lintasan Pikiran? –> Peradaban? « PPSDMS Regional II Bandung·

  3. Pingback: Lingkar SORGA « shortlife·

  4. Ya, itulah mengapa ‘lingkungan’ menjadi penting bagi kita.

    Tapi, kenapa kita ga merubah paradigmanya kang? Kitalah yang menjadi orang yang ‘besar-besar’ itu. Lalu orang disekitar kita yang menjadi teman ngobrol kita. 🙂

    Menjadi Muassis ternyata tidak mudah :p

Leave a comment